Pertanyaan seperti judul diatas itu mungkin pernah muncul dari benak Anda. Suatu pertanyaan yang belum ada jawabannya hingga sekarang.

Mari kita tengok disekeliling kita. Perhatikan kendaraan yang lalu lalang di jalan raya. Mobil, sepeda motor, bus kota bahkan bajaj semua buatan luar negeri. Kalau ada yang claim buatan Indonesia paling-paling hanya rakitan body dan aksesoris lainnya. Untuk mesin penggerak dan peralatan vital seperti rem, kemudi dan sistim keseimbangan masih menggunakan produk import.

Peralatan kantor seperti halnya komputer, printer, mesin hitung, mesin penghitung uang, ATM dan masih banyak lagi masih menggunakan produk-produk luar.

Belum lagi peralatan-peralatan strategis yang digunakan oleh instansi militer, Telekomunikasi, lembaga riset dan lembaga transportasi. Semua masih mengandalkan produk teknologi dari luar.

Mengapa ?

Lalu kemana para sarjana teknik Indonesia? Yang notabene sudah menyandang gelar pasca sarjana? Apa saja kerja mereka selama ini? Kita memang sudah terlanjur keenakan dinina bobokkan oleh hasil teknologi dari luar. Buat apa pusing-pusing "mikirin" rekayasa teknologi, selama masih mampu membeli. Tinggal pakai. Beres.

Sadarkah kita bahwa selama ini kita telah dibodohi oleh teknologi itu sendiri? Atau pilihan kita memang cukup hanya menjadi "consumer" saja?

Tidak usah kita membandingkan dengan negara-negara besar yang sudah sangat maju teknologinya. Bandingkanlah saja dengan Singapore negara tetangga kita yang jumlah penduduknya tidak lebih dari 5 juta jiwa. Mereka sudah menguasai rekayasa teknologi. Saya berani bilang demikian karena instansi dimana saya pernah bekerja telah menggunakan sistim peralatan pemantau buatan Singapore.

Para teknisi yang menciptakan peralatan tersebut bukan berasal dari pasca sarjana. Mereka hanya lulusan politeknik. Sungguh menyedihkan keadaan SDM kita.

Saya tidak habis pikir apa saja yang diajarkan di perguruan tinggi Indonesia? Sehingga tidak atau belum mampu menghasilkan SDM yang bisa menciptakan suatu rekayasa teknologi murni buatan Indonesia.

Apakah para sarjana sudah malas mengadakan riset mengenai teknologi dibidang apa saja? Maka timbullah kesan seolah-olah lulusan Perguruan Tinggi hanya mengejar jabatan dan kedudukan. Setelah duduk dikursi jabatan yang empuk lagi "basah" timbullah keengganan untuk memeras otak untuk menciptakan rekayasa teknologi. Bagi Anda yang sarjana kebetulan membaca opini ini, tak usah pertanyaan ini dijawab. Tapi renungkanlah dan cobalah mulai berbuat sesuatu yang baru. Apakah Indonesia akan selalu tertinggal dengan negara Singapore dalam hal SDM dan penguasaan teknologi?

Di bidang Teknologi Informatika, jago-jago programmer indonesia lebih tertarik membuat virus-virus Brontok, Hati-Patah, Batam-Hacker ketimbang menciptakan software-software aplikasi yang bermanfaat. Karena jiwa "vandalisme" masih membudaya. Merupakan kepuasan tersendiri apabila bisa ngerjain orang lain.

Belum lagi dari hasil pertanian. Lihat di supermarket-supermarket. Duren-Bangkok, Kelengkeng-Bangkok, Jambu-bangkok, semua buah-buahan berembel-embel Bangkok. Lalu kemana Indonesia yang mengklaim negara agraris? Tidurkah para ahli-ahli pertanian Indonesia selama ini?

Akankah Indonesia hanya tempat pembuangan sampah-sampah teknologi? Dan tetap terlena oleh sifat konsumerisme dan bukan negara produsen teknologi. Lembaga Riset baik yang Departemen maupun yang Non Departemen masih berjalan ditempat. Belum menunjukkan tanda-tanda melakukan hal yang baru. Alih teknologi tidak dibarengi dengan pengembangan. Hanya sebatas sebagai pengguna. Bahkan hanya sebagai penggunapun pengetahuan teknologinya masih terbatas. Sehingga tak jarang peralatan-peralatan yang dibeli oleh negara seharga puluhan sampai ratusan milyar rupiah tidak mampu dirawat dengan baik, sehingga menjadi barang mubasir.

Sungguh menyedihkan.

Indonesia akan tetap berjalan ditempat kalau tidak menguasai teknologi. Sebuah tantangan buat kita semua terutama para sarjana dan pakar-pakar ilmuwan.

Berhentilah bermimpi. Berbuatlah sesuatu hal yang baru ! Niscaya Indonesia bisa maju.

 

 
arista MediaCom © 2007